Ilustrasi produk halal.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Perkembangan ekonomi syariah (eksyar) di Indonesia terus menunjukkan tren positif. Berkaitan dengan hal ini, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti menekankan bahwa eksyar memiliki keunggulan yaitu berdaya tahan di tengah krisis karena ditopang oleh model bisnis yang solid, inklusif, dan berkelanjutan. Ketangguhan tersebut bahkan terbukti saat krisis melanda Indonesia pada 1998 dan 2008.
"Pada saat global financial crisis 2008 dan krisis ekonomi tahun 1998, ternyata terbukti bahwa institusi keuangan termasuk keuangan syariah relatif lebih kuat dibandingkan konvensional," ujar Destry dalam Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Jawa yang mengusung tema “Sinergi untuk Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Ekonomi Syariah Jawa di Surabaya, Jumat (13/9/2024).
Ketangguhan eksyar mengadapi krisis lantaran adanya syarat underlying asset dalam eksyar. Syarat tersebutlah yang menyebabkan kemungkinan sebuah instrumen keuangan menjadi gelembung ekonomi atau siklus ekonomi yang ditandai dengan kenaikan harga barang, terutama properti atau aset secara cepat relatif kecil.
Salah satu contohnya adalah, ketika pemerintah hendak menerbitkan sukuk, maka harus ada underlying asset untuk memastikan jalannya program serta keamanan dalam instrumen keuangan syariah tersebut. "Jadi artinya, bagaimana bisnis model syariah ini mengaitkan antara sisi keuangan dan dampaknya kepada masyarakat," ujarnya.
Kabar baiknya, lanjut Destry, Dana Moneter Internasional (IMF) saat ini sudah memiliki ketertarikan dengan prinsip keuangan syariah. "Mereka (IMF) ingin melihat compliance syariah dalam aktivitas konvensional yang sekarang terjadi," ujarnya.
Destry menambahkan, mencermati tantangan ke depan, akselerasi eksyar perlu didukung dengan perluasan akses pembiayaan, literasi keuangan. Serta, penguatan multiplier effect eksyar sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.