Jakarta - PT Gunung Raja Paksi (GRP) Tbk adalah salah satu produsen baja terbesar di Indonesia. Sebagai perusahaan yang menyumbang karbon cukup besar, GRP telah memulai melakukan strategi untuk dekarbonisasi.
General Manager Corporate Planning & Sustainability PT Gunung Raja Paksi Tbk, Sheren Omega mengatakan perusahaan telah berfokus dalam investasi lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan (Environmental, Social, and Governance/ESG) sejak 2021. Hal itu dilakukan juga dalam rangka menurunkan sumbangsih karbon yang dihasilkan dari bisnis baja.
"Sebagai salah satu sektor penyumbang karbon cukup banyak secara global dan di Indonesia yang tidak perlu kami banggakan, kami ingin berusaha mengurangi dampak bisnis kami tidak hanya lingkungan tetapi dampak sosial dan tata kelola perusahaan juga kita perhatikan," kata dia dalam Talkshow Inisiatif Keberlanjutan Mendukung Dekarbonisasi di Festival LIKE 2 KLHK, JCC, Jumat (9/8/2024).
Sheren mengatakan sampai saat ini GRP sudah melakukan berbagai strategi untuk menurunkan karbon yang dihasilkan dari bisnis perusahaan. Strategi tersebut di antaranya sosialisasi kepada suplier mengenai pentingnya penerapan ESG sehingga bisa dilakukan dekarbonisasi.
Selain itu, perusahaan juga melakukan eksplorasi teknologi untuk mengefisiensikan energi perusahaan. Menurutnya dengan efisiensi energi, maka harapannya dampak negatif terhadap lingkungan bisa menurun.
"Kami juga mengeksplore bagaimana bisa menggantikan fuel kami lebih ramah lingkungan. Ini erat kaitannya bahwa GRP mengurangi karbon, kedua bagaimana monitoring efisiensi dari operation production, efisiensi juga erat kaitannya dengan energi yang dikonsumsi," terangnya.
Sheren mengatakan perusahaan juga dimungkinkan melakukan pengurangan karbon pada produknya. Namun itu merupakan tahap terakhir jika sejumlah upaya yang sebelumnya dilakukan belum berhasil menurunkan karbon secara signifikan.
"Offsetting menjadi langkah terakhir kami untuk achieve produk yang zero carbon. Jika satu, dua, tiga, jika masih ada sisa karbon, maka offsetting carbon jadi langkah terakhir," tuturnya.
Lebih lanjut, untuk mengurangi konsumsi energi listrik, GRP juga telah membuat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Jawa Barat. Instalasi PLTS itu mencapai 9,3 MWp (megawatt peak).
"Target kami 33 MWp. Mungkin kalau dilihat 9,3 MWp ini besar sekali. Namun jika dibandingkan konsumsi listrik tahunan, hanya 7% dari listrik yang kita konsumsi," pungkasnya.
Tantangan Dekarbonisasi
Sheren mengatakan ada sejumlah tantangan untuk berkomitmen mengurangi karbon. Tantangan pertama terkait dengan pengetahuan mengenai definisi dan pentingnya dekarbonisasi. Sheren mengatakan di industri baja sendiri juga perlu ditekankan kembali seperti apa penting dekarbonisasi untuk industri itu sendiri.
"Sektor baja sendiri menjadi salah satu industri yang menghasilkan karbon cukup tinggi di dalam proses produksi, sehingga kami mawas diri tantangan apa sebenarnya? Pertama konteks di Indonesia di industri baja mengenai awareness level, tingkat pengetahuan, penyamaan visi, tujuan mengenai dekarbonisasi. Apa sih dekarbonisasi, apa yang harus kita lakukan. Itu menjadi tantangan di Indonesia," kata dia.
Tantangan selanjutnya mengenai teknologi untuk produksi baja zero carbon. Karena menurutnya sampai saat ini belum ditemukan teknologi yang bisa memproduksi baja hijau atau ramah lingkungan.
"Menjadi tantangan global, market ekspor mencari teknologi apa yang menghasilkan baja hijau, itu kata-kata seksinya ya green steel, yang mana steel tidak ada karbonnya. Itu teknologinya tidak ada sampai sekarang," ungkapnya.
Selanjutnya proses penelitian untuk menemukan baik itu strategi produksi hingga teknologi guna menghasilkan baja hijau. Namun, penelitian ini diperlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar.
"Kemudian juga supply chain, kompleksitas rantai pasok sektor baja untuk dekarbonisasi membutuhkan dari hulu ke hilir. Jadi bukan proses produksi, suplier, costumer juga harus mawas diri, harus tahu dan mulai dekarbonisasi sehingga GRP nggak jalan sendiri. Karena kami ini manufaktur, di tengah-tengah," terangnya.
Karena teknologi belum ada dan biaya transisi tersebut cukup mahal, maka tingginya pengeluaran perusahaan juga menjadi perhatian. Karena sebagai perusahaan tetap membutuhkan profit agar bisnis tetap terjaga.
"Tanpa profit, tanpa uang, susah untuk bisnis bertahan, sehingga komponen profit tidak bisa dilupakan, keseimbangan dampak lingkungan tetap, namun mendapatkan profit bisnis tetap menjadi pegangan Gunung Raja Paksi," ujarnya.
Terakhir, tantangan dekarbonisasi juga menyoroti permintaan market, mengingat untuk memproduksi baja yang zero carbon harus mengeluarkan biaya yang besar.
"Pertanyaannya siapa sih yang beli baja hijau, baja premiumnya, ada nggak yang beli. Nah ini topik menarik di global. Kabar baiknya, satu tahun belakangan banyak yang berkomitmen pada produk-produk hijau, tidak hanya baja, tetap sektor aluminium, raw material lainnya," pungkasnya. (ada/fdl)