Di penghujung Mei 2024, media sosial Instagram dan TikTok dihebohkan dengan video seekor tikus yang sedang asyik makan kue di etalase toko kue merek ternama di sebuah Mal di kawasan Jakarta Utara. Video berdurasi dua belas detik itu menjadi viral dan dalam sekejap mendapat beragam reaksi dari penontonnya.
Menanggapi hal tersebut, pihak manajemen langsung memberikan pernyataan kepada media bahwa toko akan ditutup sementara selama tiga hari. Keputusan tersebut diambil sebagai bagian dari upaya menangani insiden yang terjadi dan menunjukkan komitmen terhadap kualitas dan kebersihan makanan.
Dalam keterangan resminya disebutkan bahwa perusahaan juga akan membuang produk dan kemasan yang dipajang serta peralatan dapur yang mereka gunakan. Selain itu, perusahaan juga berkomitmen untuk mengganti seluruh tampilan etalase dan akan bekerja sama dengan ahli pengendalian hama serta berkoordinasi dengan manajemen mal.
Media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari bagi sebagian besar orang, dan betapa cepatnya berita buruk dan isu-isu buruk menyebar melalui media sosial tidak dapat dihindari. Meskipun lingkungan media sosial terus berubah, aturan dasar komunikasi krisis tetap sama.
Krisis ini harus ditangani dengan cepat, akurat, profesional, dan hati-hati. Selain menambah kejujuran, ketulusan, dan transparansi, media sosial telah membawa rencana komunikasi ke tingkat yang baru dengan mempercepat prosesnya (Goh, 2020). Penting untuk mulai membangun upaya media sosial organisasi dan tidak menunggu hingga krisis terjadi.
Berdasarkan percakapan online yang dipantau pada akun Instagram resmi perusahaan, diketahui mayoritas pengikut mempertanyakan kebersihan dan keamanan merek tersebut dari hama tikus. Kejadian ini menjadi pertanda krisis kepercayaan konsumen yang dapat menyebabkan rusaknya reputasi perusahaan.
Menurut Robert G. Eccles, dkk dalam tulisannya yang berjudul Reputation and Its Risk pada Harvard Business Review, menyebutkan bahwa perusahaan dengan reputasi positif yang kuat akan memberikan nilai lebih. Pelanggan akan menjadi lebih setia dan membeli lebih banyak produk dan layanan dari perusahaan yang memiliki reputasi yang baik karena pelanggan percaya perusahaan tersebut akan menghasilkan produk yang berkualitas.
Berkaca dari hal tersebut, menjaga reputasi perusahaan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan dan keberlanjutan pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang.
Perkembangan teknologi informasi yang sangat dinamis, terutama dengan adanya sosial media yang penggunaannya sudah sangat melekat pada sebagian besar masyarakat menyebabkan perubahan pada bagaimana perusahaan harus merespons krisis.
Rumor mengenai insiden yang terjadi pada perusahaan akan dengan cepat mudah tersebar dalam hitungan detik. Publik cenderung menyenangi rumor yang belum tentu kebenarannya sehingga menggerus kepercayaan publik pada perusahaan tersebut serta berdampak langsung pada menururnnya penjualan.
Bagaimana sebaiknya perusahaan merespons krisis komunikasi di era digital? Selain melakukan benchmark atau berdasarkan pengamatan pada bagaimana cara perusahaan lain menangani krisis, perusahaan juga dapat merancang strategi penanganan krisis berdasarkan teori.
Situational Communication Crisis Theory (SCCT) dari W. Timothy Coombs pada tahun 2007 adalah teori dalam bidang komunikasi krisis. Dalam teori ini menunjukkan bahwa seorang manajer krisis harus mampu menyesuaikan strategi respons krisis dengan tingkat tanggung jawab dan ancaman pada reputasi yang ditimbulkan oleh adanya krisis. Menurut Coombs, strategi dalam merespons krisis mempunyai tujuan dalam melindungi reputasi, mengubah persepsi pada organisasi saat krisis serta mengurangi dampak negative yang ditimbulkan akibat krisis.
SCCT menunjukkan bahwa cara perusahaan berkomunikasi dengan publiknya akan memengaruhi persepsi public terhadap organisasi tersebut. Persepsi tersebut dapat membentuk bagaimana publik suatu perusahaan bereaksi atau berperilaku secara emosional terhadap perusahaan tersebut.