Terdakwa I Nyoman Sukena (39 tahun) dituntut bebas oleh Tim JPU Kejati Bali dalam kasus kepemilikan empat landak jawa atau hystrix javanica, satwa dilindungi, di PN Denpasar, Jumat (13/9). Adapun pertimbangan menuntut bebas lantaran tidak ditemukan niat jahat dalam perbuatannya.
"Tidak ada sikap batin yang jahat dan menyimpang pada diri terdakwa dalam menyimpan, memiliki, memelihara satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup sebagaimana dakwaan, sehingga terdapat alasan penghapusan pertanggungjawaban atau sanksi pidana pada terdakwa," kata Jaksa Gede Gatot Hariawan saat membacakan pokok tuntutan.
Jaksa menyimpulkan tak ada niat jahat terdakwa dalam kasus ini berdasarkan fakta persidangan dan alat bukti dari keterangan saksi dan terdakwa. Yakni, terdakwa memelihara landak itu dengan dorongan hati nurani sebagai manusia yang beradab.
Dua ekor landak ditemukan oleh kakak mertuanya telantar di area perkebunan mereka di Desa Ubud, Kabupaten Gianyar. Nyoman Sukena memelihara dan berhasil membiakkan landak menjadi empat ekor.
Sukena memelihara satwa tersebut sepenuh hati. Sukena bersama anaknya rutin membeli kelapa sebagai pakan landak.
"(Terdakwa memelihara landak) dengan tujuan agar anak landak tersebut tidak mati karena kesulitan mencari makan atau ditangkap pemburu liar untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan, karena pada bagian-bagian tubuh landak jawa terdapat material berharga bernama geliga yang mana harganya lebih mahal daripada emas," sambung Gatot.
Selain itu, terdapat norma hukum yang berlaku di masyarakat Bali yang disebut sebagai Tri Hita Karana. Falsafah ini menjunjung tinggi hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Falsafah ini salah satunya diterapkan melalui upacara keagamaan dengan menghadirkan satwa.
Kehadiran satwa menandakan hubungan Tuhan, manusia, dan alam yang harmonis. Nyoman Sukena pernah dua kali bersedia menghadirkan satwa tersebut untuk mendukung kegiatan upacara keagamaan di Pura Desa Bongkasa Pertiwi.
"Di mana kewajiban hukum terdakwa adalah sebagai manusia yang adil dan beradab sesuai Pasal 4 Pancasila dan falsafah Bali Tri Hita Karana, yang mana esensi dari falsafah ini adalah bentuk pembukaan vibrasi kepada semesta dalam konteks manusia menjaga hubungan dengan Tuhan, dengan sesama, dan hubungan alam hayati atau hewan," katanya.
Gatot menjelaskan, salah satu indikator seorang terdakwa dituntut pertanggungjawaban secara pidana adalah bila ditemukan niat jahat dalam perbuatannya. Dalam kasus ini, JPU menilai sikap Nyoman Sukena justru memberikan kontribusi terhadap kelangsungan satwa yang terancam punah atau dilindungi.
"Dan begitu juga sebaliknya, apabila tidak ada mens rea sejatinya tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana meskipun terdapat perbuatan terlarang atau dalam hal ini actus reus yang diatur UU," kata Gatot.