Mengutip Bloomberg, pada tahun 2030, satu dari setiap lima orang usia kerja di Bumi akan menjadi orang India. Proyeksi tersebut menjadi salah satu alasan sejumlah ekonom dunia menyebut India sebagai mesin pertumbuhan ekonomi global terbesar.
Secara umum, hanya ada dua cara untuk mengerek pertumbuhan ekonomi. Antara lain dengan menambah pekerja atau meningkatkan output per pekerja.
“India memiliki lebih banyak ruang lingkup untuk melakukan keduanya di tahun-tahun mendatang daripada di tempat lain,” tulis laporan Bloomberg, Minggu (8/9).
Perdana Menteri Narendra Modi mengaku sudah melakukan banyak cara untuk mengerek pertumbuhan ekonomi negaranya. Tercermin dari kinerja pembangunan infrastruktur yang akhirnya menarik investasi asing. Di samping itu, bonus demografi yang akan terjadi di India, akan menimbulkan sejumlah tantangan baru.
“India perlu menciptakan sedikitnya 115 juta lapangan kerja baru pada tahun 2030. Sebuah tugas yang sangat berat,” kata laporan Bank Investasi Natixis.
Tak hanya itu, pemerintah juga perlu mengatasi antipati yang mengakar kuat terhadap partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. India juga perlu mengalihkan lebih banyak pekerja ke sektor formal, yang sekarang hanya sekitar 10 persen dari angkatan kerja.
Dengan partainya yang kehilangan mayoritas parlemen dalam pemilihan tahun ini, Modi harus bekerja keras.
Bloomberg melaporkan, di Lucknow, Ibu Kota Uttar Pradesh, ada ratusan pria dan wanita muda berbaris di tengah teriknya musim panas. Mereka semua memegang kertas lamaran. Mereka berbondong-bondong melamar menjadi pekerja kontrak satu tahun dengan gaji sekitar 15.000 rupee atau setara dengan Rp 2.760.790 per bulan (kurs Rp 184).
Sayangnya, peluang pekerjaan kontrak itu tidak berpihak pada mereka. Sejak awal masa jabatan Modi hingga akhir Maret 2022, sekitar 220 juta orang melamar pekerjaan federal, hanya 722.000 yang direkrut.
"Bonus demografi ini dapat dengan mudah menjadi kutukan demografi jika kesenjangan pasar tenaga kerja tidak ditangani dengan baik," kata Devashish Mitra, seorang profesor ekonomi di Universitas Syracuse di New York yang telah berkonsultasi dengan lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Mitra menyebut, semakin besar keterlambatan dalam penciptaan lapangan kerja, maka semakin banyak pula lapangan kerja yang perlu diciptakan di masa mendatang.