Jakarta -
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Guntur Hamzah mempertanyakan legal standing atau kedudukan hukum dari penggiat pemilu Titi Anggraini yang mengajukan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. Guntur menilai pasal yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tersebut banyak digugat dan berakhir dengan tidak diterima.
Hal itu disampaikan Guntur dalam sidang perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2024). Mulanya, Guntur mengatakan ada 36 permohonan terkait pengujian pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.
"Ini karena pasal ini, kita sebut sebagai pasal keramat ya, karena (Pasal) 222 sudah 36 permohonan diuji, 32 kali sudah diputus, ada empat sedang on going process yang sama dengan permohonannya Bu Titi kali ini," kata Guntur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guntur mengatakan kedudukan hukum pemohon sering menjadi kendala dalam memutuskan uji materi pasal tersebut. Padahal, menurutnya, kedudukan hukum pemohon merupakan salah satu hal penting yang diperhatikan oleh hakim.
"Kendatipun permohonan itu demikian bagusnya, tapi karena itu pemohon tidak punya legal standing, jadi buyar semuanya," ujarnya.
"Tolong diperhatikan betul karena ini pasal berkaitan dengan pengajuan capres," sambungnya.
Guntur mengingatkan pemohon untuk memperhatikan legal standing. Dia mengatakan banyak permohonan yang masuk terkait pasal tersebut dan berakhir dengan tidak diterima.
"Konstitusi kita menyatakan capres-cawapres diajukan parpol atau gabungan parpol, makanya banyak permohonan yang 32 yang sudah diputus itu berakhir dengan NO (tidak diterima), tidak punya legal standing. Kuasa harus berpikir kencang nih menjelaskan supaya tidak berakhir dengan tidak punya legal standing sebagaimana permohonan serupa," ujarnya.
Guntur mempertanyakan ada atau tidaknya keikutsertaan pemohon dalam 32 perkara yang telah diputus. Dia mengingatkan untuk mempertajam legal standing.
"Bu Titi, hati-hati lagi di sini, harus lebih tajam lagi. Saya sarankan supaya legal standing-nya bisa ada, apakah faktual atau potensial, biasanya Mahkamah itu gunakan hak sebagai pemilih atau dipilih," tuturnya.
"Di sini Ibu Titi tidak mencantumkan. Buktinya apa lagi kalau Bu Titi masih punya kartu pemilihnya, sebagai pemilih tentu punya ekspektasi yang tinggi besar terhadap capresnya sehingga punya kepentingan untuk menentukan arah capres kita ke depan," imbuh dia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pegiat pemilu, Titi Anggraini, mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK mengubah syarat agar partai bisa mengusung calon presiden-wakil presiden.
Berikut isi pasal 222 UU Pemilu yang digugat:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pemohon meminta agar MK mengubah pasal itu menjadi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR dan/atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR yang jumlahnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR
atau
Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara 6109) adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR; dan
b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
(amw/haf)