Indonesia mengalami deflasi beruntun sejak Mei 2024 hingga Agustus 2024. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi deflasi sebesar 0,03 persen pada Agustus dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm).
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan deflasi kali ini lebih dipengaruhi oleh faktor domestik dibandingkan kondisi global.
“Saya mencatat, kondisi deflasi saat ini memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik,” kata Huda kepada kumparan, Minggu (8/9).
Huda menyebut pelemahan daya beli menjadi faktor kunci deflasi Agustus 2024. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang kurang tepat membuat saya beli masyarakat menurun, terutama sejak pemerintah menaikkan harga Pertalite pada 2022.
“Pelemahan daya beli ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang tepat,” ungkapnya.
Huda juga menyoroti pelemahan daya beli tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kelas bawah, tetapi juga oleh kelas menengah. Kondisi ini dipicu oleh faktor pelemahan industri dan investasi yang saat ini belum mampu memberikan stimulus yang cukup kuat bagi pertumbuhan ekonomi.
“Selain itu, pelemahan daya beli kelas menengah juga disebabkan oleh pelemahan industri dan investasi yang seret,” tutur Huda.
Dia mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak jangka panjang dari deflasi yang terjadi secara berturut-turut. Ia menyebut penurunan permintaan akan berujung pada perlambatan produksi, yang pada akhirnya memicu peningkatan angka pengangguran.
“Yang paling saya khawatirkan adalah peningkatan jumlah pengangguran. Ketika permintaan melemah, produksi akan cenderung melambat. Ini dapat menyebabkan perusahaan mengurangi produksinya, dan terbukti Indeks Produksi Manufaktur (IPM) melemah,” ungkapnya.
Dengan perlambatan produksi dan pertumbuhan ekonomi yang menurun, kesejahteraan masyarakat dikhawatirkan akan semakin terpuruk. Oleh karena itu, Huda menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang dapat berdampak pada konsumsi rumah tangga.
Salah satu kebijakan yang menurut Huda harus dievaluasi adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di 2025. Menurutnya, rencana ini harus dibatalkan karena akan semakin membebani daya beli masyarakat yang saat ini sudah melemah.
“Rencana kenaikan tarif PPN tahun depan bisa dibatalkan. Pembatasan penggunaan Pertalite juga harus dilakukan dengan cermat, memperhatikan unsur keadilan bagi penerima subsidi,” pungkasnya.