UU Pemilu Digugat, MK Diminta Buka Peluang Parpol Luar DPR Usung Capres

1 month ago 13
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pegiat Pemilu, Titi Anggraini, mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK mengubah syarat agar partai bisa mengusung calon presiden-wakil presiden.

Hal itu disampaikan oleh kuasa hukum keduanya, Sandy Yudha Pratama Hulu, dalam sidang perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2024). Sandy mengatakan pengaturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tidak lagi didasarkan pada perhitungan jumlah kursi DPR hasil pemilu sebelumnya.

"Melihat fakta dalam dua kali pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pasca keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu, yakni Pilpres 2019 dan 2024, dapat dilihat secara nyata bahwa partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPR maupun partai politik yang baru menjadi kontestan pada Pemilu berjalan tidak dapat merasakan dampak signifikan bila mendukung pasangan capres dan cawapres," kata Sandy.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sandy mengatakan efek elektoral Pilpres telah menggerus suara parpol baru dan nonparlemen. Padahal, kata dia, parpol-parpol itu memiliki kesempatan untuk mengusung calon presidennya.

Pemohon mengajukan sejumlah alternatif pilihan mengenai pengaturan ambang batas pencalonan presiden. Dia meminta parpol yang punya kursi DPR dapat mengusung pasangan calon sendiri tanpa jumlah minimal kursi tertentu.

"Artinya setiap partai politik yang berhasil melewati ambang batas parlemen dalam pemilu sebelumnya berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya," jelasnya.

Sedangkan, kata dia, parpol baru dan nonparlemen harus berkoalisi hingga memenuhi syarat ambang batas 20% dari jumlah parpol peserta pemilu yang ada. Artinya, Sandy menjelaskan ambang batas yang diberlakukan itu untuk parpol baru dan nonparlemen yang baru mengikuti pemilu, bukan hasil dari pemilu sebelumnya.

"Partai-partai politik non parlemen maupun partai-partai politik yang baru mengikuti pemilu berjalan dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan cara menggabungkan diri pada satu kelompok partai pengusul yang berjumlah sekurang-kurangnya 20% dari jumlah partai politik peserta pemilu berjalan," ucapnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Read Entire Article